mf nih cerpennya rada ga jelas alurnya... ga bakat siiii... u,u
ISYARAT CAHAYA BURUNG GEREJA
Di sini senang di sana senang..
Di mana-mana hatiku senang..
Lalalalalalala.. lalalalalalala.. lala..
Nyanyian riang terdengar membahana di sebuah hutan rimba. Sekolompok anak-anak Pecinta Alam sedang menjelajahi hutan. Burung-burung bercicit mengikuti alunan lagu mereka.
“ Eh loe kenapa si muka ditekuk-tekuk begitu. Jelek tau. Apa ada masalah?” kata Linov sambil memperhatikan muka Sarah yang murung.
Hening. Tak ada jawaban. Tangan Linov bergerak-gerak di depan kelopak mata Sarah.
“Woyyyy…!!!!” Linov menepuk pundak Sarah sambil berteriak.
Sarah terkejut dan sedikit melompat.
“Hah.. ehh.. ada apa nov??” tanya Sarah dengan muka polos tanpa rasa bersalah karena dia memang merasa tak bersalah tentunya.
“Hahaha.. mukamu tuh konyol banget. Jangan ngelamun terus dong. Mikirin apa sih??? Mikirin aku ya??? Ayo ngaku..” ledek Linov dengan jailnya.
“Mikirin loe? Gue mikirin loe?? Nggak lah ya…” jawab Sarah disusul dengan juluran lidahnya.
Sarah tak lagi murung. Dia sibuk meladeni banyolan-banyolan yang terlontar dari mulut Linov, sahabat karibnya. Bahkan Sarah lupa akan masalah keluarga yang dihadapinya.
Perjalanan rombongan Pecinta Alam itu telah mendaki bukit dan menuruni lembah. Ketua rombongan akhirnya mengisyaratkan untuk beristirahat di bawah pohon-pohon nan rindang dan membuka bekal masing-masing. Saat makan siang, Linov kembali menanyakan hal apa yang membuat murung Sarah yang kini telah menjadi seorang gadis galak. Dengan sejuta bujuk rayu Linov, akhirnya Sarah mau menceritakan masalah-masalah yang kian membebani otaknya. Pikiran Sarah melayang kembali ke 2 tahun silam.
Sarah dan keluarganya termasuk ke dalam kelompok keluarga yang kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi, kehidupan mereka tak pernah kekurangan akan harta yang tak nampak yaitu kasih sayang, kebersamaan, kebahagiaan, dan perhatian antar anggota keluarga.
Saat itu, ayahnya hanyalah seorang petani kecil yang miskin. Ibunya hanya penjual keripik. Rumahnya tak semegah istana raja-raja. Rumahnya hanyalah gubuk sederhana yang biasa-biasa saja. Kehidupannya serba sederhana dan biasa-biasa saja, tak seperti seorang putri yang selalu dilayani ini itu dan ditemani dayang-dayangnya kemanapun ia pergi.
Setiap harinya, saat pagi buta sebelum berangkat sekolah Sarah harus berjalan seorang diri melawan dinginnya pagi dan menerobos kabut-kabut yang menghalangi jalanan di pematang sawah. Ia mengantarkan keripik-keripik buatan ibunya ke warung-warung. Tak jarang Sarah mengalami penolakan dari pemilik warung.
Pulang sekolah, Sarah mampir ke rumah-rumah tetangga untuk mengambil cucian kotor. Uang yang terkumpul dari hasil mencuci pakaian tetangganya, ia berikan kepada ibunya untuk dibelikan beras dan lauk pauk. Sisanya akan ia tabung. Sarah menjalani kehidupannya dengan ikhlas, sabar, dan tabah. Seulas senyuman selalu terukir di wajahnya dan menemani setiap langkahnya. Sebenarnya Sarah sangat ingin orang tuanya kaya raya. Ia fikir jika ia kaya, ia akan mempunyai banyak teman, dan akan hidup enak.
Hingga pada suatu hari, ada tetangga yang menawarkan pekerjaan kantoran kepada ayahnya. Ayahnya menerima tawaran itu dan memulai usahanya dari dasar. Sarah dan ibunya sangat mendukung ayahnya. Mereka selalu memberi motivasi tatkala ayahnya menyerah dengan tugas-tugas yang tak dimengertinya.
Usaha dan kerja keras keluarga Sarah berhasil. Ayahnya kini menjadi pengusaha yang kaya raya. Hidup keluarganya kini serba berkecukupan. Keinginan Sarah untuk menjadi kaya sudah terkabul. Awalnya, tak ada yang berubah dari keluarga Sarah. Mereka tetap menyediakan waktu untuk berkumpul bersama. Namun, kian hari kian hilang waktu untuk bercengkrama bersama.
Ayahnya sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk dimeja kerjanya. Ibunya sibuk kesana-kemari mendatangi arisan dan undangan-undangan dari kerabat. Sarah begitu sering ditinggal oleh kedua orang tuanya. Di rumah ia hanya bersama dengan pembantu dan sopir-sopirnya.
Sarah yang selalu diperlakukan bak putri raja, kini tumbuh menjadi sosok remaja yang malas, manja, dan keras kepala. Bahkan tak jarang ia membentak-bentak pembantunya. Padahal setiap pagi pembantunya telah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan Sarah. Dari air hangat untuk mandi, makanan untuk sarapan paginya, sampai menyiapkan seragam sekolah lengkap dengan sepatu dan kaos kakinya. Jika waktu itu ia mengikuti acara jelajah hutan itupun karena paksaan dari Linov.
#s#s#
Why do you love me
So sweet and tenderly
I do everything
To make you happy….
Terdengar lantunan lagu dari HP ayah Sarah.
“Ayah.. ada telpon tuh… buruan angkat!! Brisiik nih.” teriak Sarah dari kamarnya.
“Halo.. selamat sore. Dengan siapa ini?” ayahnya mengangkat telpon.
“Oh.. pak direktur, ada apa ya pak?”
Suara di seberang sana tak begitu terdengar jelas. Yang Sarah dengar, ayahnya mengatakan akan segera kesana. Tanpa putaran otak yang cukup lama ia dapat menerka bahwa ayahnya akan segera berangkat ke kantor lagi. Padahal 1 jam yang lalu ayahnya baru pulang dari kantor dan hari itu hari minggu, hari yang biasanya digunakan keluarganya untuk berkumpul. Sarah hanya melongokan kepala lewat pintu kamarnya dan menatap ayahnya dengan pandangan kosong. HAMPA.
Hatinya tau bahwa ia tak mungkin mencegah dan melarang ayahnya berangkat ke kantor lagi hanya untuk berkumpul dan menemaninya di rumah. Sarah pernah mencobanya tapi jawaban yang ia dapat hanya “kan ada bik minah yang nemenin kamu” dan selebihnya omelan-omelan panjang.
Janjimu sperti fajar pagi hari..
Yang tiada terlambat bersinar..
Cintamu sperti sungai yang mengalir..
Tak lama setelah ayah menutup pintu, HP ibunya berbunyi. Sarah kembali berteriak-teriak menyuruh ibunya mengangkat telpon. Dan hasil dari telpon itu adalah ibunya harus pergi mengunjungi kerabatnya yang sedang mengadakan pesta ulang tahun perkawinan. Dan akhirnya Sarah ditinggal (lagi untuk ke sekian ratus kalinya).
“Sayang, mamah pergi dulu ya.. jaga rumah baik-baik.”
“Huh.. biasanya aja ga pernah pamitan. Aku itu anak apa penjaga rumah sih sebenernya.” gumam Sarah dongkol.
“Bbiiii….. bbbiiiiiibbbiii….. bik minaaahhhh…” teriak Sarah memanggil pembantunya.
Tak ada jawaban dan bik minah pun tak kunjung datang.
“Biiiikkkkk mmiiiinnnaaaaaahhhhhh……” teriaknya lagi bagai suara speaker mini yang menggelegar.
Bik minah yang sedang menyiapkan makan malam di dapur terlonjak kaget dan berlari dengan cepat ke arah datangnya suara.
“Ada apa to non kok pake teriak-teriak begitu? Saya ini lagi menyiapkan makan malam.” ucap bik Minah sambil terengah-engah.
“Itu lho di depan ada yang ngetok pintu.. tolong dibukain.” perintahnya.
Tanpa menjawab lagi bik Minah berjalan menuju pintu. Bik Minah sudah tak heran lagi dengan tabiat Sarah. Bik Minah paham dengan perasaan Sarah. Ia begitu sabar mengahadapinya.
“Non, itu ada mas Linov di depan”
“Oh.. ok. Ya udah bibi lanjutin masaknya!”
Setelah mendengar cerita tentang ketidakharmonisan keluarga Sarah, Linov memang sering main ke rumah Sarah untuk menemaninya. Linov sangat ingin sahabatnya itu kembali seperti dulu. Menjadi sosok gadis yang ceria, ramah, sopan, dan selalu menyayangi orang tuanya.
“Hey nov… tadi nunggu lama ya di depan pintu? Maaf ya tu bik Minah dipanggil-panggil ga denger.”
“Rah, sampe kapan si loe mau kek gini terus? Aku pengen kamu kek dulu lagi.”
“Hmm.. maksudnya?” Sarah pura-pura ngga paham.
“Gini deh, besok pokoknya loe ikut gue ke suatu tempat. Besok gue jemput loe jam 06.30.Ok? Loe harus udah bangun!”
“Pemaksaan nih.. mau kemana sih?”
“Udah deh liat aja besok. Ya udah karang gue mau balik dulu.Bye..”
Linov pergi begitu saja dan membiarkan Sarah larut dalam rasa bingung dan penasarannya.
Malamnya, Sarah ijin ke kedua orang tuanya meskipun ia tau orang tuanya tak begitu peduli dengannya. Tapi ternyata dugaannya salah. MELESET. Orang tuanya melarangnya pergi ke suatu tempat yang belum tentu di mana apalagi bersama seorang laki-laki. Sarah mengatakan bahwa Linov adalah sahabat karibnya. Orang tuanya memang tak mengenal siapa saja teman-teman Sarah. Karena tetap dilarang, Sarah berlari ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Ia menangis di kamarnya. Ia merasa orang tuanya tak sayang lagi padanya. Tanpa tersadar ia terlelap dalam buaian dunia mimpi.
Malam itu ia bermimpi berada di sebuah hutan yang sangat rimbun. Anehnya ia hanya seorang diri dan hanya ditemani burung-burung gereja yang berkicauan dan berterbangan kesana-kemari. Sekelompok burung gereja bertengger di ranting pohon dekat dengan Sarah. Burung-burung itu tampak akur 1 sama lain. Mereka begitu kompak. Di tengah-tengah mereka tampak burung gereja yang cantik dan itu adalah pemimpin rombongan. Burung gereja pemimpin itu terbang dan masuk ke dalam hutan gelap. Di dadanya tampak seulas cahaya yang awalnya tersembunyi dibawah sayapnya. Burung gereja pemimpin terus memunculkan cahayanya. Ia akan memadamkan cahaya itu jika semua anggota kelompoknya sudah pasti tak ada yang tertinggal. Sarah tertarik untuk mengikuti burung gereja itu. Langkahnya tampak pasti dan tanpa takut.
Di balik semak-semak rimbun yang membuat hutan tampak gelap itu terdapat sebuah danau terhampar. Di sampingnya terdapat dua pohon. Pohon yang satu daunnya tampak hijau lebat dan rimbun. Di situ juga terdapat berbagai macam buah-buahan. Sedangkan pohon yang satunya lagi daunnya hijau tapi tak selebat dan serimbun pohon yang pertama. Dan tak ada buah-buahan di situ.
Pada masing-masing pohon terdapat sekeluarga burung gereja. Pada pohon yang pertama, keluarga burung itu memang sejahtera. Banyak terdapat makanan. Pohon tempat tinggalnya pun bagus, hijau lebat. Tapi sayangnya, anggota keluarga burung itu menjadi egois dan pemalas. Berbeda dengan keluarga burung di pohon kedua. Anggota keluarga burung di pohon kedua harus gotong royong untuk mencari makanan sehingga di antara mereka timbul rasa kebersamaan, saling mengasihi, dan saling membantu.
Paginya, Sarah terbangun dari tidurnya. Ia duduk dan merenung. Ia menyadari bahwa keinginanya untuk kaya raya adalah SALAH BESAR. Hidup kaya raya itu tak enak. Anggota keluarganya kini sibuk mengurus urusannya masing-masing. Tak ada waktu untuk bercengkrama, untuk berkumpul bersama keluarga.
Ia melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 05.00. Ia membuka jendela kamarnya dan menghirup udara pagi. Sudah lama ia tak merasakan segarnya udara di pagi hari. Biasanya ia bangun jam 07.00 itu pun jika dibangunkan bik Minah.
Dari jendela kamarnya, Sarah melihat burung gereja bertengger. Ia tersenyum dan berjanji di dalam hati akan membuat keluarganya seperti dulu lagi. Ia bertekad.
Waktu menunjukkan pukul 06.30. Linov telah berada di depan rumah Sarah. Dengan mengendap-endap, Sarah menghampiri Linov.
“Selamat pagi tuan putri. Bisa bangun pagi juga toh??” ledek Linov.
“Ah, ga usah gitu deh..” jawab Sarah manyun.
“Ya deh maap… gimana?? Jadi mau ikut aku ke sebuah tempat?”
“Ga,.. aku udah punya rencana sendiri.” Muka Sarah tampak serius.
“Wah.. wah.. ada apa ini gerangan??”
“Ga usah banyak tanya. Sekarang mendingan nganterin aku ke rumahku yang dulu. Ok? Ayo jalan!!” kata Sarah sambil nongkrong di boncengan motor Linov.
Rumah itu tampak kumuh sekali. Tak terurus. Sarah mulai memunguti sampah-sampah, menyapu lantainya, membersihkan jendela kaca, membuka jendela, dan menata ruangan kembali.
Debunya berserakan di mana-mana. Sarah sempat terbatuk-batuk beberapa kali. Tapi tekadnya yang kuat membuatnya tak memperdulikan debu-debu yang melayang-layang dan membuatnya bersin.
Linov terperangah dan terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya karena takut di bentak lagi oleh gadis galak itu.
Detik demi detik berlalu. Akhirnya pekerjaan Sarah selesai. Rumahnya yang dulu sudah tampak rapi dan bersih. Sarah tersenyum puas dan bangga. Ia mengajak Linov pulang.
Sampai di rumah ia agak kecewa karena ayah dan ibunnya belum pulang. Ia sudah mencoba telpon orang tuannya tapi hasilnya NIHIL.
Tepat pukul 08.00 malam, Sarah mendengar kedua orang tuannya pulang. Ia bergegas bangkit dari tempat tidurnya.
“Selamat malam ayah.. selamat malam ibu…” sapanya.
“Apa ada yang salah denganmu sayang?” ibu mengerutkan kening heran menatap Sarah.
Sarah mengajak orang tuanya duduk di ruang keluarga. Ia lalu menceritakan tentang rumah yang dulu. Ia mengajak orang tuanya untuk tingggal di sana lagi.
“Apa? Tinggal di rumah yang dulu?” Ibunya tersentak kaget.
“Nggak.. mamah nggak mau. Nanti apa kata teman-teman mamah.” lanjutnya ibunya lagi.
Ayahnya juga tidak menyetujuinya, bahkan ayahnya langsung pergi begitu saja masuk ke kamarnya yang kemudian disusul oleh ibunya. Sarah menunduk sedih. Tetes-tetes air mata kembali membasahi pipinya. Harta telah membutakan keluarganya.
Sebelum tidur, Sarah menyempatkan diri menulis surat untuk orang tuanya. Ia meletakan surat itu di atas meja kamar orang tuanya. Kemudian ia tertidur lelap di tempat tidur kesayangannya.
Pagi benar Sarah sudah berangkat dengan hati galau. Ia tak yakin orang tuanya mau datang ke rumah yang dulu. Ia mengendarai sepeda motor dengan gontai. Lututnya merasa lemas. Ia teramat sangat membenci kehidupan kayanya. Ia ingin keluarganya kembali seperti dulu. Ia memejamkan mata dan…..
Bruuuukk....
Sepeda motor Sarah menabrak tiang listrik di tepi jalan. Sarah terlempar beberapa meter dari motornya. Kepalanya penuh darah. Rupanya saat terlempar, kepala Sarah membentur trotoar. Ada seorang lelaki yang lewat tempat kecelakaan itu. Dan laki-laki itu ternyata Linov. Linov langsung berhenti. Ia menjerit-jerit minta tolong. Tapi sayang jalanan itu sepi. Tak ada yang lewat. Akhirnya Linov menelpon orang tua Sarah.
Ketika menerima telpon dari Linov, kedua orang tuanya sedang membaca surat dari Sarah.
Selamat pagi.. mah,pah..
Maaf ya pagi-pagi benar Sarah sudah pergi tanpa pamit. Sarah mau memperindah rumah kita yang dulu agar mamah dan papah mau tinggal lagi di sana. Jujur aja mah,pah, Sarah nggak mau kehidupan yang kaya jika hanya akan memisahkan kita. Karena harta ini papah dan mamah sering pergi meninggalkan Sarah begitu saja. Sarah seperti anak pembantu karena setiap hari pembantulah yang merawat Sarah.
Sarah sering kesepian mah, pah. Sarah ingin kita tinggal lagi di rumah yang dulu. Sarah hanya ingin kebersamaan dan kasih sayang seperti dulu. Bukan harta yang Sarah mau. Sarah menunggu kalian di sana
Kedua oran tua Sarah menangis. Mereka menyesal tak mau mendengarkan dan menyetujui permintaan Sarah tadi malam. Sayangnya penyesalan itu terlambat. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Sarah menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi sebelumnya ia telah berpesan kepada Linov untuk melanjutkan misinya untuk menyatukan keluarganya lagi seperti dulu.
Setelah kepergian Sarah, kedua orang tuanya meninggalkan kekayaan dan istana megah milik mereka. Mereka kembali ke rumah sederhana yang dulu sesuai dengan permintaan Sarah.
*****The End*****